Minggu, 13 Desember 2009

Di Antara Kita Saling Membutuhkan Oleh: Parti S.


Seperti biasanya, matahari terbit dari timur dan mengeluarkan cahaya pagi yang begitu indah serta menunjukkan kebesaran Allah SWT. yang telah menciptakan alam semesta yang indah ini. Surnia tampak ceria pagi itu karena akan berpergian hari itu dengan Pak Seno, sopir pribadi ayahnya.

“Pak Seno, hati-hati, ya! Jaga Nia baik-baik,” pesan ibu Surnia sebelum berangkat. Surnia memang berhasrat sekali pergi ke desa menjemput Siti yang kabur dari rumahnya setelah tinggal bersamanya seminggu lamanya. Sebagai anak tunggal, ia membutuhkan teman untuk berbincang-bincang dan bertukar pikiran.

“Nia, nanti kalau Sti tidak ada di sana gimana?” kata Pak Seno dalam perjalanan.

“Mudah-mudahan ada. Ibu kemarin menerima surat dari paman Siti yang mengatakan anak itu pulang ke desa sendirian. Ya...kita hanya bisa berdo’a kepada Allah agar berita itu benar adanya,” kata Surnia.

“Oooooo.....begitu,” kata Pak Seno sambil mengangguk-angguk.

Desa tempat Siti cukup jauh dan jalannya naik turun serta berkelok- kelok. Pak Seno cukup lincah memainkan setirnya ketika berpapasan dengan bus yang sarat penumpang dan berjalan kencang. Ketika memasuki lorong perkampungan, mobil itu merangkak perlahan, Pak Seno mencoba mengamati lingkungan sekitar karena beberapa tahun lalu Pak Seno pernah mengantar Bik Inem ke desa itu pula. Bi Inem adalah pembantu yang telah puluhan tahun lamanya di rumah Surnia.

“Ini rumahnya, Nia” kataPak Seno menghentikan mobilnya di sebuah rumah tua yang berhalaman luas. Surnia tertegun beberapa jenak ketika berdiri di depan pintu rumah itu, ada perasaan baru menyelinap di hatinya.

“Assalammu’alikum,” sapa Surnia sambil mengetuk pintu rumah itu beberapa kali.

Keika pintu terbuka, tampaklah seorang anak perempuanyang sebaya dengan Surnia melihat dengan mata melotot tajam penuh rasa kebencian di hatinya.

“Nia, kenapa kamu datang kemari? Pulang dan nikmati kasih sayang emakku. Aku merasa lebih tenteram tinggal di sisi nenekku. Emak telah melupakanku dan lebih memenjakanmu karena kamu lebih cantik dan lebih pintar,” kata Siti dangan tenang.

Hati kurnia terguncang dan sedih mendengar perkataan Siti itu. Dari kata-kata itu Nia tahu kepergian Siti dari rumahnya karena emaknya, Bi Inem kurang memperhatikan Siti. Barangkali karena kesibukkan Bi inem menyebabkan semua ini terjadi.

“Siti maafkan aku. Sungguh aku tidak merebut kasih sayang emakmu. Aku yakin Bi Inem tidak bermaksud menyakitimu,” kata Surnia menjelaskan.

“Bohong! Karena ibumu sendiri selalu sibuk dengan urusannya maka kamu jadi manja dengan emakku, begitu,’kan?”

“Mungkin begitu, Siti. Tetapi aku merasa emakmu dan kamu telah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Diantara kita memang saling membutukan, Siti,” Ujar Surnia.

“Betul neng Siti. Apa yang dikatakan Surnia ini,” sahut Pak Seno menimpali pembicaraan kedua anak itu. “Neng, hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong, hormat-menghormati, memberi dan menerima. Kan begitu?”

Siti terdiam, wajahnya menunduk dan terasa ada keharuan yang menyentuh hatinya. Siti sadar emaknya bekerja di kota agar dapat membiayainya sekolahnya dan menghidupi nenek yang sudah amat tua itu.

Siti, kedatanganku kemari disuruh ayah dan ibuku untuk menjemputmu. Mereka sangat mengharapkan kamu dapat tinggal bersama kami agar aku mendapat teman berbincang, ngobrol, bermain, dan bertukar pikiran. Bukankah kita sama-sama duduk di kelas enam?”

“Te,tet,tetapi...?” Siti tidak dapat meneruska kata-katanya karena perasaan harunya.

“Soal kepindahan sekolahmu ke kota, nanti ayah yang akan mengurusinya,” kata Surnia menjelaskan.

“Apa ayah dan ibumu tidak marah kepadaku?”

“Tidak. Orang tuaku sungguh bermaksud baik, tetapi hanya kamu yamu yang belum memahaminya. Nah sekarang, katakan pada nenekmu kalau aku menjemputmu. Kita berangkat sekarang mumpung hari belum siang!” ujar Surnia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar